Memenuhi tugas Pengantar Teknologi Informasi

Senin, 30 Desember 2019

Wayang Babad Cirebon


Wayang Kulit Cirebon, hidup dan berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Cirebon yang dibawa para Wali. Berdasarkan sejarah (babad Cirebon), Pakeliran wayang Kulit pertama di Cirebon dilakukan oleh Sunan panggung atau Sunan Kalijaga sebagai dalangnya yang diringi gamelan sekaten Cirebon. 

Dari pengaruh ajaran agama yang dibawa para Wali Sembilan itulah sehingga muncul tambahan tokoh panakawan menjadi sembilan yakni : Semar, Curis, Bitarota, Ceblok, Dawala, Cungkring, Bagong, Bagal Buntung, dan Gareng. Kehadiran sembilan panakawan ini didasarkan pada lambang Wali Sanga, hal ini disebabkan bahwa masyarakat Cirebon percaya awal keberadaan agama Islam di Indonesia ini karena jasa-jasa para Wali Sanga.

Dalam bahasa Cirebon, kata “wayang” memiliki arti bayangan. Kata lain wayang adalah “ringgit” artinya Sunan Giri yang “nganggit”. Maksudnya Sunan Giri yang memikirkan atau mengarang kecuali wayang Gunungan dibuat oleh Sunan Gungjati. Tokoh wayang dewa yang mempunyai kedudukan tertinggi disebut “Girinata” mempunyai makna Sunan Giri yang menata atau mengatur.

Sedang menurut babad Cerbon yang dikutip Rafan S. Hasyim dalam bukunya Seni tatah dan Sungging Wayang Kulit Cirebon, sangat jelas disebutkan bahwa Sunan Kalijaga merupakan pencetus pembuatan Wayang Kulit Cerbon. 

Sunan Kalijaga berkenan menyerahkan wayang , Sunan Bonang meminta agar dibuatkan dan diperbanyak, semua wali menerimanya, Gusti Sunan ratu (Sunan Purba) segera memerintahkan Pangeran Kajoran).

Dalam babad Cirebon disebutkan:

“Gelise ingkang carita, ringgit wis cinithak kalih, kajoran wis winastanan, pangeran Kalang reki, wus katur ing para wali, sampun dados sakati, kang dinamela”

Artinya :
Segera setelah itu, wayang sudah diperbanyak, Pangeran Kajoran diberi gelar, dengan nama Pangeran Kalang, sudah diterima oleh para Wali, wayang yang diproduksi sudah mencapai jumlah seribu.

“Sawise nganggit gamelan, amangun keramat wali, pasarean ing astana, dinamel kalaning wengi, anuju ing taun alip, ping sadasa riyaya, terape ing bada isa, waktu subuh sampun radin, sigra bubar sakathaning wali sanga”

Artinya :
Setelah membuat arasemen gamelan, membangun tajug (di Gunung Sembung) pada malam itu, tahun alif, tanggal 10 Lebaran Idul Adha, tepatnya setelah sholat isya’ diadakan pergelaran sampai waktu subuh setelah itu para wali kembali ke kediaman masing-masing (Rafan S. Hasyim, 2012 : 2-6).

Dari tiga bait syair, tembang sinom diatas dapat disimpulkan bahwa, Sunan Kalijaga merupakan pencetus pertama pembuatan wayang Cerbon. Pangeran Kajoran orang pertama yang memproduksi wayang cerbon. 

Tempat pertama kali diadakan pertunjukan wayang Cerbon adalah di Bangsal Pringgitan di depan komplek Astana Nurgiri Ciptarengga pada tanggal 10 Dzulhijah sekitar tahun 1480-an. Atas dasar tersebut, maka dengan kesepakatan pada dalang di Cirebon tanggal 10 Zulhijah ditetapkan sebagai hari Pedalangan Cirebon.

Cirebon adalah salah satu tempat terbesar di tanah Jawa, yang merupakan pusat pengembangan budaya wayang kulit, sebagaimana diriwayatkan dalam ” Babad Cirebon”, tentang perjalanan Sunan Kalijaga atau Sunan Panggung sampai turun temurun kepada para dhalang (seniman) di Cirebon.

Sementara itu, Kabid Seni dan Film Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jawa Barat mengatakan, sejak tahun 2003, wayang sudah diakui oleh UNESCO sebagai kebudayaan milik Indonesia. Namun sayangnya, peminat wayang dari tahun ke tahun semakin berkurang. Masyarakat lebih tertarik pada kebudayaan luar negeri.

Wayang babad Cirebon diciptakan oleh Ki Dalang Askadi Sastra Suganda dari Cangkring Plered Cirebon. Cerita yang diangkat dalam wayang babad ini biasanya bercerita tentang sejarah, legenda, cerita babad ataupun dongeng seperti golek cepak Cirebon. Waditra yang digunakan adalah gamelan salendro dan pelog, genjring santri/rebanan, solawatan, lagu-lagu kemandu lakon.

Wayang babad merupakan pagelaran wayang berisi tentang Babad Cirebon. Ceritanya pun tentang asal-usul Kota Cirebon sesuai babad yang ada. 

Pada wayang kulit cirebon penyebutan nama babad atau cerita dan karakter-karakter pewayangannya memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan penyebutan babad pewayangan dalam pagelaran wayang kulit purwa gaya yogyakarta atau surakarta, sebagai contohnya Babad alas amer disebut sebagai Babad Wanamerta dalam pagelaran wayang kulit cirebon.

Penyebutan nama karakter pewayangannya juga memiliki perbedaan, di antaranya Kala Pracona dalam wayang kulit cirebon disebut sebagai Naga Pracana dan Kala Srenggi disebut sebagai Kala Jenggi.

Selain perbedaan penyebutan nama babad dan karakter pada Wayang kulit Cirebon, kesinambungan unsur pra-Islam dengan unsur agama Islam yang masuk ke wilayah budaya Cirebon pun masih dapat dilihat jelas pada bentuk visual karakter wayangnya, selain contoh Naga Liyong dan Guru Dorna (Drona) yang berjubah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada juga karakter lain yang merupakan wujud dari kesinambungan unsur pra-Islam dengan agama Islam, di antaranya Gunungan Jali atau Jaler pada pagelaran wayang kulit cirebon yang masih menampilkan wujud Ganesha sebagai pengaruh unsur agama Hindu yang merupakan salah satu unsur pra-Islam yang mewarnai wayang kulit cirebon.

Jika dibandingkan antara pembawaan bahasa babad yang digunakan pada wayang kulit purwa dengan wayang kulit cirebon, dialog yang dibawakan pada pagelaran wayang kulit cirebon lebih bernafaskan Islam.

Untuk mengembalikan posisi wayang sebagai sarana dakwah kepada masyarakat, nayaga mengenakan kostum ala santri, dan sinden mengenakan jilbab. Dalam pertunjukkan wayang kulit dan wayang golek biasanya sinden mengenakan kebaya, ber make up tebal dan sedikit genit serta memenuhi keinginan penonton yang me-request sebuah lagu. Singkatnya, sinden harus tampil cantik hingga banyak penonton yang betah duduk di bangku yang berderet sepanjang malam.

Disisipi syair shalawat nabi, bacaan ayat awal Surat Al-Alaq, do`a Nabi Adam yang menerangkan kesia-siaan jika kesalahannya tidak diampuni Allah swt, pertunjukkan wayang babad malam itu sukses menyedot antusiasme penonton. Di tengah acara ketika Susuhunan Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) menancapkan payung kropak agung, ada episode tarian yang dibawakan prajurit kerajaan Cirebon setelah Susuhan Jati berjalan diiringi Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.

Layar pertunjukkan agak unik. Dua buah gunungan yang ditancapkan pada batang pisang berhias gambar dua bukit dengan sebuah huma dan seekor bangau hinggap di atas pohon. Bukan tanpa alasan Askasi menggambarkan ini. Agaknya ia bukan sekadar ingin berbeda melainkan ada penekanan pada konsep berpasangan dalam segala hal, sebagaimana dijelaskan ajaran moral.

Keberadaan wayang Cirebon dapat bertahan hingga saat ini karena adanya beberapa faktor baik unsur internal maupun eksternal. Unsur internal meliputi para seniman pedalangannya baik dalang, nayaga maupun sinden. Sedang unsur eksternal adalah para penonton atau pendukung wayang kulit itu sendiri. Bertahannya pergelaran wayang kulit Cirebon menurut Rafan S. Hasim karena secara sosial masih fungsional. Keterkaitan antara unsur internal yang terdiri dari komunitas dalang dan para pendukungnya masinh sangat kuat, sehingga keberadaan wayang sebagai sebuah anasir budaya masih dibutuhkan keberadaannya. 

Fungsi sosial wayang kulit Cirebon masih terus bertahan mengikuti dinamika perkembangan zaman. Dari masa ke masa wayang kulit Cirebon memiliki fungsi yang fleksibel. Pada zaman awal perkembangan Islam hingga berdirinya pusat kekuasaan Islam di Cirebon, wayang digunakan sebagai media penyebaran agama Islam.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

TWITTER

FACEBOOK

INSTAGRAM

YOUTUBE

Tari Topeng Malangan

Negara kita Indonesia tercinta ini merupakan salah satu negara yang terdiri atas beragam suku dan budaya dari Sabang samapi Merauke. Oleh k...

Arsip Blog

Jumlah Pengunjung