Kebudayaan
merupakan suatu hasil karya manusia yang berupa seni, adat, keyakinan, dan
pengetahuan. Pada umumnya kebanyakan orang mendefinisikan kebudayaan berupa
sebuab kesenian dan adat istiadat yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu,
salah satu dari bentuk kebudayaan yang sering kita lihat adalah seni tari yang
mana disajikan dengan berbagai gerakan yang indah dan biasanya memiliki pesan
tertentu yang akan disampaikan pada orang yang melihatnya.
Seni
secara umum adalah segala sesuatu yang diciptakan manusia yang mengandung unsur
keindahan dan mampu membangkitkan perasaan orang lain. Istilah seni berasal
dari bahasa Sanskerta dari kata Sani yang
berarti pemujaan, persembahan, dan pelayanan yang erat dengan upacara keagamaan
yang disebut dengan kesenian.
Salah
satu kesenian yang ada di Cirebon adalah seni tari yang
disebut dengan tari sintren, kesenian tari ini merupakan seni tari yang khas
dari daerah Cirebon. Seni tari sintren sendiri mengandung unsur magis
sehingga tidak boleh untuk dibuat mainan, tari sintren ini biasanya dibawakan
oleh seorang wanita yang mengenakan kostum khusus dan berkacamata hitam,
sebelum melakukan tarian ini biasanya sang penari akan masuk ke dalam sebuah
kurungan yang ditutup oleh kain.
Asal mula nama sintren salah satunya berasal dari kata
sindir (bahasa Indonesia: sindir) dan tetaren (bahasa Indonesia: pertanyaan
melalui syair-syair yang perlu dipikirkan jawabannya) maksudnya adalah
menyindir dengan menggunakan sajak-sajak atau syair-syair, sementara di wilayah
kabupaten Indramayu kesenian ini disebut sebagai Lais (bahasa Indonesia: suci)
yang kependekan dari nama asalnya yang dalam bahasa Cirebon dialek Indramayu
disebut sebagai wari lais (bahasa Indonesia: air suci) yang dimaknai sebagai
para pemuda dengan niat yang suci.
Sintren
(atau dikenal juga dengan Lais) adalah kesenian tari tradisional masyarakat
Jawa, Khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat
dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang,
Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan dan Pekalongan. Tarian yang dikenal
oleh masyarakat akan unsur mistis yang ada didalamnya dan diperuntukkan karena
adanya ritual khusus pemanggilan arwah atau roh.
Tari
ini bermula dari cerita Sulandono selaku Putra Ki Bahurekso (Bupati Kendal)
yang pertama dari hasil pernikahannya dengan Dewi Rantamsari yang mendapatkan
julukan Dewi Lanjar. Raden Sulandono mengikat kasih dengan seorang putri dari
Desa Kalisalak yang bernama Sulatih. Akan tetapi, Ki Bahurekso tidak
merestui hubungan keduanya.
Hingga
akhirnya, Raden Sulandono melakukan petapaan yang diperintahkan oleh sang ibu
dan memberikan selembar kain untuk fasilitas kelak menjelang bertemu dengan
Sulatih setelah petapaannya selesai. Sedangkan Sulatih menjadi seorang penari
setelah peninggalan Sulandono yang sedang bertapa. Walaupun begitu keduanya
masih sering bertemu meskipun melalui alam ghaib.
Konon, tarian sintren juga menceritakan kisah
cinta Ki Joko Bahu dengan Rantamsari yang tidak disetujui oleh Sultan Agung,
Raja Mataram. Ki Joko Bahu dan Rantamsari dipisahkan dan tersiar kabar bahwa Ki
Joko Bahu meninggal. Namun Rantamsari tidak percaya dan mencari kekasihnya
dengan menyamar sebagai penari sintren.
Pada awalnya sebelum terbentuk struktur sintren atau lais yang
ada seperti sekarang ini yang berupa tarian dengan wanita ditengahnya, dahulu
awal kesenian ini dipercaya dimulai dengan aktivitas berkumpulnya para pemuda
yang saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain terutama setelah
kekalahan besar pada perang Besar Cirebon yang berakhir sekitar tahun 1818,
dalam cerita lisan masyarakat Indramayu dikenal nama Seca Branti yang dipercaya
sebagai abdi pangeran Diponegoro yang berhasil lolos dari Belanda setelah
kekalahan perang Diponegoro yang berakhir pada tahun 1830, dikatakan bahwa Seca
Branti melarikan diri ke wilayah Indramayu disana dia bergaul dengan para
pemuda dan suka membacakan sajak-sajak perjuangan, pada musim panen tiba disaat
para pemuda sedang banyak berkumpul, Seca Branti kemudian ikut bergabung dan
menyanyikan sajak-sajak perjuangannya. Aktivitas menyanyikan sajak-sajak ini
kemudian diketahui oleh penjajah Belanda dan kemudian dilarang, Belanda hanya
mengizinkan adanya sesuatu kegiatan yang diisi dengan pesta, wanita penghibur
dan minuman keras. Kegiatan-kegiatan ini juga berusaha Belanda lakukan di dalam
keraton-keraton Cirebon sebelum berakhirnya perang Besar Cirebon, bahkan para
prajurit Belanda yang berada di kota Cirebon senang dengan kegiatan
mabuk-mabukan diiringi dengan para penari Tayub[2]. Hal inilah yang kemudian
melatarbelakangi digunakannya penari wanita sebagai kedok (bahasa Indonesia:
topeng) dalam pertunjukannya sementara fokus utamanya tetaplah syair-syair yang
diucapkan oleh dalang sintren yang didengarkan oleh para pemuda yang
mengelilinginya, berlatih untuk memupuk rasa perjuangan. Oleh karenanya pada
tahap ini sebagian kalangan menterjemahkan sintren sebagai sinyo (bahasa
Indonesia: pemuda) dan trennen (bahasa Indonesia: berlatih) yang artinya pemuda
yang sedang berlatih.
Pada
tahap ini pola-pola sajak yang digunakan oleh para dalang sintren tidak berubah
dari sajak-sajak tentang perjuangan, perbedaannya adalah digunakannya ronggeng
buyung (penari wanita) pada pertunjukannya yang bertujuan untuk mengelabui
penjajah Belanda.
Selain
dari kisah perjuangan pemuda-pemuda Cirebon lewat syair-syair penyemangat dalam
pagelaran sintren, kesenian sintren di Cirebon juga menampilkan lirik-lirik
legenda romantisme antara Selasih dan Sulandana yang populer dikalangan
masyarakat suku Jawa[3], hal tersebut dikarenakan letak Cirebon yang berdekatan
langsung dengan tanah budaya Jawa mengakibatkan tingginya interaksi sosial
antara suku Cirebon dengan suku Jawa.
Dalam
seni sintren terdapat beberapa peran, ada penari sintren,dalang, penanggung
jawab dari permainan sintren,laden (orang yang melayani dalang), Nayaga (pemusik), dan ada sinden (penyanyi)
yang menerangkan permainan permainan dalam sintren yang dilakukan.
Kostum
yang digunakan oleh sang penari sintren ialah baju golek, baju tanpa lengan
yang biasa dipakai dalam Tari Golek dan untuk bagian bawah menggunakan kain
jarit dan celana cinde. Bagian kepala memakai jamang (hiasan untaian bunga
melati disamping kanan dan koncer dibagian telinga). Aksesoris lainnya adalah sabuk,
sampur (selendang), dan kaos kaki hitam atau putih serta kacamata hitam yang
digunakan sebagai penutup mata sebab penari selalu memejamkan mata saat keadaan
kesurupan.
Sintren
itu seperti narasi yang digabungkan dengan tembang tembang sintren. Seni sintren
sekarang sudah sangat digemari oleh remaja-remaja dan berkembang di pesisir
utara sampai daerah Tegal dan Pekalongan.
Kesenian
Sintren khususnya di wilayah Cirebon semakin berkembang pesat, salah satunya
pada sanggar Sekar Pandan. Sanggar Sekar Pandan telah berdiri dari tahun 1992.
Tariaan sintren menggambarkan kesucian sang penari.
Jatuhnya
Manusia oleh Nafsu Duniawi
Tarian Sintren menggambarkan kesucian sang putri atau sang penari. Masyarakat Cirebon menyakini tarian ini tak boleh ditampilkan atau dilakukan secara main-main. Seorang penari hanya boleh membawakan tarian sintren dalam keadaan suci dan bersih.
Tarian Sintren menggambarkan kesucian sang putri atau sang penari. Masyarakat Cirebon menyakini tarian ini tak boleh ditampilkan atau dilakukan secara main-main. Seorang penari hanya boleh membawakan tarian sintren dalam keadaan suci dan bersih.
Sebelum
melakukan pementasan sang penari harus melakukan puasa terlebih dahulu dan
menjaga agar tidak berbuat dosa. Hal ini ditujukan agar roh tidak akan
mengalami kesulitan untuk masuk dalam tubuh penari. Kesenian tari sintren pada
mulanya dipentaskan pada waktu yang sunyi, di saat malam bulan purnama, karena
kesenian tari ini berhubungan dengan roh halus yang masuk ke dalam sang penari.
Tari
sintren ini dibawakan oleh seorang wanita yang mengenakan kostum khusus dan
berkacamata hitam. Sebelum melakukan tarian ini biasanya sang penari akan masuk
ke dalam sebuah kurungan dalam keadaan terikat tali tambang. Kurungan kemudian
ditutup dengan kain.
Saat penari
keluar dari kurungan itulah penonton dibuat takjub. Penari berhasil lolos dari
ikatannya dan sudah berganti pakaian. Musik langsung menyambutnya, dan penari
pun langsung berjoget. Uniknya, setiap ada penonton yang sawer, melemparkan
uang ke penari, penari langsung terjatuh dan berhenti menari.
Meski
terlihat aneh dan menghibur, jatuhnya penari karena sawer ini sebenarnya
merupakan pesan penting yang disampaikan lewat tari sintren. Jatuhnya penari
menggambarkan bahwa manusia kerap lupa diri ketika sudah bergelimang harta.
Uang yang dilempar ke penari dimaknai sebagai harta atau nafsu duniawi. Penari
sebagai gambaran kita atau manusia, langsung jatuh ketika terkena lemparan
uang.
0 komentar:
Posting Komentar